Senin, 09 April 2012

2EB20_K5

Nama         : Tia Sri Rejeki Manik
Npm           : 29210543
Kelas         : 2EB20

Mengatasi SMS Premium Yang Bermasalah



SMS yang merupakan salah satu sarana komunikasi berbasis teks sangat diminati oleh kalangan masyarakat, sebagai sarana kkomunikasi yang murah, mudah, tetapi
cukup memiliki nilai ekspresif. Oleh karena itu, sebagian kalangan pengusaha memandang bahwa SMS merupakan kesempatan besar untuk mendapatkan peluang keuntungan
yang menggiurkan.      
Kehadiran content provider dalam dunia SMS, telah memberikan beberapa bentuk bisnis di bidang SMS, yang masyarakat sebut sebagai ”SMS Premium”. Seperti
SMS yang menawarkan ramalan, keagamaan, pertemanan, undian, hingga SMS yang menawarkan keakraban dengan artis-artis yang menjadi idola di masyarakat.      
Secara umum, ”SMS Premium” memiliki dua (2) karakteristik yang utama, yaitu :      
1. SMS premium on demand, yang berarti setiap orang (konsumen pengguna) akan mendapatkan layanan , setiap kali konsumen mengirimkan SMS kepada operator
dan content provider. Sehingga layanan SMS premium on demand, akan aktif apabila konsumen mengirimkan setiap SMS-nya kepada sistem.       
Layanan SMS premium on demand umumnya digunakan untuk proses jajak pendapat, informasi umum, dan undian.      
2. SMS premium subscription (berlangganan), berarti setiap orang (konsumen pengguna) harus mendaftarkan nomor kartu seluler pada sistem operator dan content
provider dengan cara mengetik beberapa karakter kunci pendaftaran atau pembatalan. Seperti, ”REG”, ”UNREG”, ”ON”, dan ”OFF”.      
Susunan Karakter di atas merupakan perintah yang memberi instruksi kepada sistem operator dan content provider supaya kemudian hari diizinkan untuk mendapatkan
layanan secara berlangganan tanpa mengirimkan SMS sebelumnya oleh konsumen. SMS jenis ini pada umumnya digunakan untuk memberikan ramalan, pertemanan,
hingga undian yang didasarkan atas sebuah permainan.      
Permasalahan lahir di masyarakat setelah gempuran iklan SMS Premium di media cetak dan elektronik oleh para content provider yang tidak diimbangi dengan
kesempurnaan sistem server yang dimiliki oleh operator dan content provider. Permasalahan yang terjadi lebih diperparah dengan kondisi informasi dan pengetahuan
yang tidak memadai di masyarakat yang telah disampaikan oleh para operator dan para content provider. Hal ini, didasarkan atas pengalaman pribadi dan beberapa
rekan yang mengeluhkan mengenai ”SMS Premium berlangganan”.      
Permasalahan yang dialami oleh pribadi dan beberapa rekan dimulai ketika isi SMS yang dikirimkan oleh content provider tidak sesuai dengan harapan, sehingga
kami berusaha untuk mematikan layanan SMS Premium berlangganan tersebut dengan mengetik ”UNREG” atau ”OFF” yang dikirim ke nomor XXXX. Langkah ini ternyata
tidak dapat menghentikan SMS Premium yang dimaksud. Oleh karena itu, kami terus mencoba hingga beberapa hari, tetapi belum juga berhasil.      
Setelah kami gagal untuk mematikan SMS Premium berlangganan melalui SMS, maka kami mencoba menghubungi nomor telepon content provider yang telah terlampir
dalam SMS petunjuk penggunaan. Permohonan pemberhentian telah diterima oleh petugas content provider, tetapi SMS Premium yang dimaksud belum juga berhenti
kami terima. Sebagai langkah terakhir, kira-kira setelah dua (2) minggu berlalu, kami menghubungi operator seluler, dan langkah ini ternyata berhasil.      
Dalam permasalahan di atas, terlihat bahwa content provider tidak profesional dalam menangani permintaan konsumen untuk ”berhenti”, sehingga terkesan content
provider ”memanfaatkan” konsumen untuk mencari ”keuntungan” dari tidak segera mematikan sistem berlangganan yang ”diminta” oleh konsumen. Hal ini dianggap
memenuhi unsur ”kesengajaan”, karena bagaimana mungkin SMS ”REG XXXX” sangat instan dijawab oleh sistem, sedangkan SMS ”UNREG” sangat sulit dijawab oleh
sistem. Selain itu, petugas content provider yang telah dihubungi tidak menanggapi dengan cepat setelah menerima ”permohonan” dari konsumen (kami).      
Apabila meninjau pada perlindungan konsumen, permasalahan SMS premium seperti yang dijelaskan di atas, maka permasalahan tersebut dapat memenuhi unsur-unsur hukum yang terkait dengan ”perlindungan konsumen”, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.      
Berdasarkan beberapa asas dalam hukum yang berlaku di Indonesia, perlindungan konsumen telah didasarkan atas asas ”manfaat” dan ”keselamatan konsumen” dengan
tujuan menghindarkan konsumen dari dampak negatif pemakaian barang dan jasa, selain bertujuan untuk meningkatkan kecermatan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut setiap hak yang dimiliki. Oleh karena itu, permasalahan ”SMS Premium” yang terjadi dalam praktik, terkadang tidak memperhatikan nilai ”manfaat” dan nilai ”keselamatan konsumen”, karena terkadang isi SMS Premium tidak sesuai dengan harapan yang dijanjikan. Hal ini dipersulit dengan sikap petugas content provider yang seolah-olah menghambat proses ”UNREG” yang telah diminta oleh pengguna ”SMS Premium” tersebut.      
Apabila meninjau pada dampak yang lahir akibat isi dari SMS Premium terlebih lagi terhadap sikap petugas content provider, maka seharusnya pengusaha content
provider harus bertanggung jawab terhadap ”biaya” yang masih terpotong akibat sulitnya melakukan proses ”UNREG”, sesuai dengan Pasal 19 UU No. 8 Tahun
1999 yang menjelaskan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi atas setiap kerugian yang diderita oleh konsumen. Selain itu, apabila
meninjau lebih dalam pada perangkat hukum yang terkait dengan ”SMS Premium”, maka permasalahan layanan tersebut dapat dikaitkan juga dengan asas-asas penyelenggaraan telekomunikasi sesuai dengan Pasal dua (2) UU No. 39 Tahun 1999 yang diantaranya menjelaskan bahwa kegiatan telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas ”manfaat” dan ”etika”, selain asas ”kepastian hukum” sebagai pengawas dan pembina terhadap proses kegiatan pertelekomunikasian di Indonesia.

Menurut saya penyelesaiannya …

Melihat permasalahan yang terjadi di masyarakat terkait dengan ”SMS Premium” berlangganan, maka sebaiknya masyarakat dapat menggunakan layanan SMS Premium berlangganan sesuai dengan ”kebutuhan” masing-masing individu. Selain itu, sebaiknya masyarakat mengetahui dengan jelas mengenai ”tarif”, ”cara penggunaan”, serta mengetahui ”nomor kontak” dari content provider dan operator seluler yang digunakan. Hal ini dapat bermanfaat, apabila terjadi permasalahan ”UNREG” atau permasalahan lainnya. Sedangkan bagi pihak operator seluler dan content provider sebaiknya selalu menjaga kualitas sistem jasa yang ditawarkan, supaya dapat melindungi para ”pelanggan” sebagai ”konsumen”.
Hal ini sesuai dengan pandangan pakar hukum Jerman Hans W Micklitz (2001) yang Menjelaskan bahwa, ”perlindungan konsumen”, dapat terkait pada kebijakan yang mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan informasi yang memadai kepada konsumen, dan kebijakan yang terkait pada perlindungan terhadap kepentingan ekonomi,seperti hak atas kenyamanan,  keamanan, dan keselamatan.

* Artikel ini telah dimuat di Surat Kabar Kompas edisi Jawa Barat Tanggal 24 Juli 2008, yang ditulis oleh Rizky Harta Cipta SH. MH. <hartacipta@hukumpositif.com

2EB20_K4

Nama         : Tia Sri Rejeki Manik
Npm           : 29210543
Kelas         : 2EB20

Menghadapi Peredaran Handphone Black Market Yang Telah Menghawatirkan


Dalam kemajuan teknologi handphone dewasa ini, telah menempatkan handphone sebagai perangkat komunikasi yang sangat penting dan sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat masa kini. Oleh karena itu, penjualan dan peredaran handphone dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup besar. Salah satunya, dapat dibuktikan dengan beberapa handphone yang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat (GSM dan CDMA).
Besarnya daya serap pasar terhadap handphone di Indonesia, telah memberikan banyak kesempatan bagi para distributor handphone untuk saling bersaing menyalurkan dan memasarkan handphone yang telah diproduksi oleh para produsen ke dalam pangsa pasar dalam negeri (masyarakat). Tentu saja, hal ini telah menciptakan suatu persaingan yang tinggi bagi para distributor handphone, sehingga beberapa pengusaha distributor yang tidak mampu bersaing secara “sehat”, melakukan pendistribusian handphone secara “illegal”, seperti mendistribusikan handphone-handphone dengan cara menghindari pajak. Cara ini, dapat memberikan “manfaat” bagi distributor dalam melakukan “penetrasi” pasar handphone ke dalam masyarakat dengan cepat, mudah dan murah, tanpa mengurangi “keuntungan” yang diperoleh oleh para distributor itu sendiri.
Secara umum, handphone “selundupan” atau yang dikenal oleh masyarakat sebagai handphone ”Black Market”, sangat berbeda dengan handphone “Resmi” atau disebut juga sebagai handphone “Legal”, karena, handphone “Black Market” pada hakikatnya merupakan handphone yang sengaja diselundupkan ke dalam negeri dengan cara menghindari sistem perpajakan Negara. Sedangkan handphone “Legal” merupakan handphone yang didistribusikan melalui distributor resmi yang memiliki kerja sama penjualan atau pasca penjualan dengan produsen handphone, serta telah memenuhi standar minimum yang telah ditentukan oleh Pemerintah.
Berbeda lagi dengan jenis handphone “Refurbished” yang merupakan handphone bekas yang diperbaiki dan diperbaharui, sehingga handphone tersebut, seolah-olah menjadi handphone baru dengan status “Black Market” atau handphone dengan status “Legal”.
Permasalahan di masyarakat lahir ketika, pembeli tidak mengetahui dan memahami, bahwa handphone yang dibeli merupakan handphone “Black Market” atau handphone “Legal”. Hal ini lebih diperparah dengan oknum penjual yang tidak memberikan penjelasan yang cukup terhadap para calon pembeli mengenai handphone “Black Market” handphone “Legal” atau handphone “Refurbished” yang akan dipilih oleh para calon pembeli.
Permasalahan di atas pernah dialami oleh rekan-rekan penulis, ketika membeli handphone Nokia 9300, Nokia 9300I, Nokia 6016 hingga Nokia XXXX. Handphone-handphone tersebut ternyata merupakan handphone “Black Market” dan beberapa diantaranya merupakan handphone “Refurbished”. Hal ini, diketahui setelah handphone tersebut mengalami kerusakan, yang kemudian dibawa ke service center handphone bersangkutan. Ternyata, service center dari produk handphone tersebut mengenakan “denda” pada pemilik handphone tersebut, dengan alasan handphone tersebut merupakan handphone “Black Market”.

Menurut saya penyelesaiannya …

Menurut saya pertama-tama kita harus mengetahui bahwa handphone- handphone “Black Market” memiliki karakteristik-karakteristik yang mudah dikenali secara umum. Seperti :           
1.    Nomor seri IMEI (International Mobile Equipment Identity), karena handphone ”Black Market” pada umumnya dikirimkan dengan tanpa kardus yang dicetak sesuai nomor IMEI masing-masing handphone. Selain itu, nomor IMEI pada umumnya dapat memberikan identitas Negara tujuan pendistribusian handphone.
2.    Layanan pasca penjualan (garansi), karena garansi merupakan jaminan dari pihak distributor kepada para konsumen mengenai kualitas handphone yang digunakan. Apabila handphone yang akan dibeli memiliki layanan garansi Principal. Seperti garansi Nokia, garansi Sony Ericson , atau garansi Samsung, maka handphone yang dijual merupakan handphone “Resmi” (Legal). Sedangkan apabila handphone yang akan dibeli memiliki layanan pasca penjualan (garansi) “Distributor” atau garansi “Toko”, maka handphone yang dijual merupakan handphone “Black Market” (Illegal).
Apabila meninjau hukum yang berlaku dari pandangan perlindungan konsumen terkait dengan status handphone “Black Market”, maka sebenarnya keberadaan handphone “Black Market”, telah berlawanan dengan UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, karena pada hakikatnya konsumen memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa yang digunakannya (Pasal 4). Walaupun demikian, setiap konsumen harus memiliki itikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa, karena salah satu perlindungan konsumen, ditujukan untuk dapat mengangkat harkat dan martabat konsumen itu sendiri, dengan cara menghindarkannya dari dampak buruk dari pemakaian barang dan/atau jasa, selain menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen yang dapat menumbuhkan sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha (Pasal 2-3). Selaras dengan hal ini, , Pasal 7 telah menegaskan bahwa, “Penjual harus memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan”.
Lebih jauh lagi, apabila kita meninjau peredaran handphone “Black Market” di masyarakat, maka peredaran handphone “Black Market” tidak hanya bertentangan dengan hukum yang terkait dengan perlindungan konsumen, karena apabila kita meninjau pada UU No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, khususnya Pasal 32, maka telah menjelaskan bahwa, perangkat telekomunikasi yang dibuat, dirakit, dimasukkan, diperdagangkan serta digunakan di dalam negeri, harus memenuhi persyaratan teknis dan izin yang ditentukan.

*Artikel ini telah dimuat di Surat Kabar Kompas edisi Jawa Barat Tanggal 27 Oktober 2008, yang ditulis oleh Rizky Harta Cipta SH. MH





Minggu, 08 April 2012

2EB20_K3



Nama         : Tia Sri Rejeki Manik
Npm           : 29210543
Kelas         : 2EB20

Pengangguran di INDONESIA



Angka pengangguran terbuka di Indonesia masih mencapai 8,12 juta jiwa. Angka tersebut belum termasuk dalam pengangguran setengah terbuka, yaitu mereka yang bekerja kurang dari 30 jam per minggu. Masih tingginya angka pengangguran di Indonesia, harus diatasi dengan menyiapkan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang unggul.

Hal itu disampaikan Menteri Tenaga Kerja dan Tansmigrasi RI, Muhaimin Iskandar dalam sambutannya pada pembukaan Nakertrans Expo 2011, di Pusat Promosi dan Informasi Bisnis Kota Tegal, Jawa Tengah, Selasa (21/6/2011). Menurut dia, banyak perangkat yang harus disiapkan untuk mengatasi pengangguran.

Salah satunya yaitu dengan menyiapkan sumber daya manusia yang berkompetensi unggul. Selama ini, dalam kegiatan bursa kerja seperti yang diselenggarakan di Tegal hari itu, biasanya lowongan hanya terisi sekitar 50 persen. Hal itu terjadi, karena kompetensi yang disyaratkan perusahaan pencari tenaga kerja tidak mampu dipenuhi oleh para tenaga kerja. Oleh karena itu menurut Muhaimin, tenaga kerja harus disiapkan dengan baik.

Sementara itu di Jawa Tengah, hingga 2010, angka pengangguran masih mencapai 1,046 juta jiwa. Angka tersebut turun sebesar 16,04 persen, bila dibandingkan jumlah pengangguran pada 2009, sebanyak 1,252 juta jiwa.

Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jateng, Siswo Laksono saat membacakan sambutan Gubernur Jateng, Bibit Waluyo mengatakan, dalam rangka mengatasi masalah tenaga kerja, Pemprov Jateng terus berupaya meningkatkan rasio SMK terhadap SMU.

Pada April 2008, Pemprov Jateng telah mendeklarasikan sebagai Provinsi Vokasi, dengan meningkatkan peran SMK sebagai pusat pendidikan dan pelatihan, pusat pengembangan sains, dan teknologi, serta pusat produksi dan pemasaran.

Pada 2008, rasio SMK terhadap SMU masih 54,4 persen berbanding 45,6 persen. Pada 2010, perbandingannya sudah mencapai 60,10 persen untuk SMK dan 39,90 persen untuk SMU. Pemprov Jateng menargetkan rasio SMK terhadap SMA mencapai 70 persen berbanding 30 persen pada 2013 mendatang. Selain itu, juga dilakukan perintisan Desa Vokasi, melalui jalur pendidikan non formal, katanya.

Nakertrans Expo 2011 yang diselenggarakan Pemkot Tegal diserbu oleh ribuan pelamar. Sekitar 6.000 pelamar diperkirakan mengikuti kegiatan yang berlangsung selama dua hari tersebut.

Wali Kota Tegal, Ikmal Jaya mengatakan, bursa kerja dalam Nakertrans Expo 2011 diikuti 35 perusahaan. Kegiatan tersebut menyediakan 50 jabatan, dengan jumlah serapan tenaga kerja sekitar 6.000 orang.

Menurut saya cara menyelesaikannya …

alternatif penyelesaian masalah pengangguran diatas selain pelatihan keterampilan di BLK adalah dengan memberikan ruang gerak yang lebih kepada sektor non-publik untuk ikut berpartisipasi aktif dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat secara proporsional, dengan memberikan program padat karya, bantuan pendirian UKM/UMKM

Aplikasinya sebaiknya pemerintah bekerjasama dengan pihak Bank untuk memberikan kridit lunak, kepada sektor UKM/UMKM. Dengan cara kredit lunak bagi sektor UMKM. dengan demikian agkatan kerja selain terserap pada sektor formal, juga terserap pada sektor UKM/UMKM sehigga diharapkan angka pengangguran di indonesia akan terus berkurang




2EB20_K2


Nama         : Tia Sri Rejeki Manik
Npm           : 29210543
Kelas         : 2EB20

Korupsi “MERAJALELA” di INDONESIA 

       Akhir-akhir ini masalah korupsi sedang hangt-hangatnya dibicarakan publik, terutama dalam media massa baik lokal maupun nasional. Pada hakekatnya, korupsi adalah “benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya.
           Seperti contoh kasus korupsi GAYUS ini Sejak awal sebenarnya cenderung tak percaya bahwa uang pajak yang ditilep Gayus hanya Rp28 milyar, apalagi ditambah pengakuannya bahwa dari dana sejumlah itu dia hanya menikmati Rp1,5 milyar, selebihnya mengalir ke polisi (Rp11 milyar), jaksa (Rp5 milyar), hakim (Rp5 milyar), pengacara (Rp5 milyar).Apa masuk akal yang maling cuma dapat Rp1,5 milyar?
Ketidakpercayaan ini berdasarkan banyaknya wajib pajak raksasa yang ditanganinya yakni 149 wajib pajak antara lain Chevron, Kaltim Prima Coal atau Kapuas Prima Coal (Metrotv bikin Kapuas Prima Coal), Bumi Resourches dan lain-lain. Dari 149 mega perusahaan ini, 60 ditangani Gayus langsung.
Semua perusahaan itu ingin mendapatkan keringanan pajak atau tidak bisa menerima besaran jumlah tagihan dari instansi pajak dan Gayus dkk memanfaatkan peluang tersebut.
Ketidakpercayan itu terjawab sudah, Majalah Tempo terbaru mengungkapkan bahwa kasus Gayus mencakup uang sebesar Rp1,7 triliun, saat ini dia masih menyimpan uang tersebut di beberapa deposit box dan menurut Tempo dia berulang kali membujuk penyidik akan memberikan deposit box tersebut—kecuali satu untuk dia dan keluarga–asal dibebaskan atau hukumannya diringankan.

Menurut saya penyelesaiannya …

Berita ini membuktikan bahwa korupsi di instansi perpajakan adalah mega korupsi yang harus mendapat perhatian dan pengawalan super serius dari pers dan masyarakat.. Disinyalir potensi uang negara yang hanyut ke kantong-kantong petugas pajak dan gangnya mencapai Rp300 triliun!
Gara-gara ulah petugas bejat di jawatan pajak kita kehilangan kesempatan untuk mendapatkan jalan raya berkualitas baik, sekolah-sekolah, bea siswa, perguruan tinggi, rumah sakit, obat-obatan, pasar, pembangkit listrik, taman hiburan dan fasilitas publik lainnya.
Mungkin sudah saatnya kita lebih memperhatikan petugas pajak di kota kita, juga polisi, jaksa, hakim dan pengacara, bukan untuk mengusili atau mencampuri kehidupan pribadi mereka, tapi hanya untuk menyelamatkan fasilitas publik yang mungkin bisa kita peroleh kalau perilaku dan gaya hidup mereka wajar-wajar saja.
Kalau kita begitu pedulinya pada maling ayam, maling jemuran, maling tape mobil, maling kaca spion, maling motor dan sejenisnya, mengapa tidak kita tingkatkan sedikit kepedulian kita pada para pencuri uang kita, rakyat Indonesia?


2EB20_K1



Nama         : Tia Sri Rejeki Manik
Npm           : 29210543
Kelas         : 2EB20


Perang melawan kemiskinan? Sepertinya hanya SLOGAN!

Sejak masa Sukarno, Suharto dst. sering kali kita dengar slogan-slogan yang berbunyi “Kita harus berperang melawan kemiskinan”. Slogan ini menjadi penyemangat untuk serius menuntaskan kelaparan di negara ini dan seolah menjadi penyejuk bagi masyarakat kita bahwa pemerintah benar-benar ingin men”delete” masalah ini. Namun kenyataannya, kemiskinan masih lekat sekali kita lihat dan dengar di televisi dan radio. Jika kita membahas kemiskinan tentunya kata ini juga identik dengan kata kelaparan. Tidak mengada-ada namun benar kenyataannya bahwa kemiskinan sangat erat dengan kelaparan. Begitu juga kelaparan, sangat erat sekali dengan kulitas SDM yang lemah. Begitu juga dengan SDM yang lemah akan erat kaitannya dengan akses jalan yang sulit dan seterusnya. Kemiskinan bagi kita yang memiliki nurani, merupakan sebuah kata yang sangat mengerikan. Apalagi tragedi ini terjadi di negeri kita sendiri dan menimpa saudara-saudara kita sendiri. Masih teringat jelas di benak kita tragedi kelaparan di Yahokimo (Papua) yang menelan 55 orang meninggal atau peristiwa Daeng Besse dan bayinya (Makasar) yang tengah dikandungnya meninggal karena kelaparan. Pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah malah sempat saling tuding dengan tragedi ini dan saling melempar tanggung jawab. Seharusnya pemerintah langsung memeriksa penduduk yang kelaparan dan bukannya saling tuding bahkan menutup mata dengan peristiwa ini.

      Kemiskinan pada dasarnya adalah sebuah masalah yang selalu terjadi pada sebuah negara berkembang seperti Indonesia. Apalagi topografi negara kita yang terdiri dari ribuan pulau menambah sulitnya penanggulangan masalah ini. Namun bukan berarti tidak bisa diatasi. Kemiskinan di negara kita bisa jadi sulit untuk dihilangkan namun pemerintah bisa menguranginya sedikit demi sedikit dan akhirnya menyelesaikan masalah ini. Kemiskinan dan kelaparan pasti bisa di minimalisir hingga sekecil mungkin oleh pemerintah dan dukungan dari masyarakat itu sendiri. Namun sebelumnya harus ada sebuah rencana ataupun program yang jelas, kemauan dan tekad yang besar dan juga niat membantu saudara-saudara kita.

         Pemerintah saat ini pernah menjanjikan akan menuntaskan kemiskinan pada tahun 2015, tapi janji ini tak lebih hanya sebuah statement formal sebagai simbolisme keseriusan penuturnya di depan publik. Namun kenyataan di lapangan masih banyak saudara kita yang menyandang predikat miskin. Bahkan penulis mendapatkan info dari harian kompas disebutkan bahwa + 26,63 juta penduduk Indonesia terancam kelaparan. Belum lagi research lain yang mendata tentang jumlah penduduk miskin di negara kita ini.

        Kita ketahui bersama bahwa kemiskinan akan menimbulkan banyak dampak yang buruk. Sebut saja, kelaparan yang telah dijabarkan di awal, kemudian busung lapar, kemudian gizi buruk dan akhirnya kematian sebagai ujung yang sangat memilukan. Lalu kenapa kemiskinan hadir di tengah-tengah masyarakat kita? Banyak sekali faktor yang mengakibatkan hadirnya kemiskinan yang biasanya meliputi kurangnya individu dalam menguasai alat produksi sehingga individu tersebut tidak produktif, kualitas sumber daya manusia yang sangat rendah, sulitnya akses menuju luar daerah dan juga kurangnya perhatian pemerintah.


Menurut Saya Penyelesaiannya  …

Merujuk kepermasalahan di atas, kita pada dasarnya membutuhkan seorang sosok pemimpin yang teguh, tegas, adil dan bersih yang benar-benar konsisten dalam menanggulangi masalah ini. Karena pengentasan kemiskinan memang harus benar-benar sepenuhnya didukung oleh pemerintah dibantu oleh masyarakat itu sendiri. Banyak sekali aspek yang harus kita benahi guna menanggulangi kemiskinan yang semakin merajalela.
Salah satunya yaitu dengan meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat kita hingga ke pelosok-pelosok negeri. Meski sebuah sekolah berada di pedalaman, selayaknya mendapatkan fasilitas yang sama seperti sekolah-sekolah yang ada di perkotaan. Standarisasi fasilitas ini akan memberi pengaruh kepada pendidik untuk terus belajar dan mengajar. Hal tersebut juga akan memberi aspek positif kepada siswa maupun masyarakat lingkungan sekolah untuk lebih bersemangat dalam belajar. Sekolah gratis tidak hanya sebagai slogan namun harus benar-benar gratis terutama untuk sekolah yang berada di daerah pedalaman.
Kedua, Memperlancar sarana transportasi khususnya yang menuju daerah-daerah terpencil. Faktor ini merupakan faktor penting guna membuka wawasan masyarakat kita yang tinggal di pedalaman. Semakin luas mereka bersosialisasi maka secara otomatis mereka akan semakin terbuka dan mengerti bagaimana bertahan hidup dengan berkecukupan. Ketiga, bantuan juga merupakan faktor penting. Tidak hanya berupa harta atau makanan, namun penyuluhan kepada individu atau sekelompok masyarakat, bantuan pemberian lapangan kerja ataupun pembagian lahan secara gratis dan otomatis akan memberikan peluang kerja kepada mereka.